Minggu, 16 November 2008

Pantjaningsih Herawati yang aneh

Kenal sama Pantjaningsih Herawati? Itu salah satu kenalan saya.
Umurnya sudah 50-an, istri seorang mantan manajer kapal Pelindo III Surabaya bernama Utopo. Dia biasa dipanggil dengan nama suaminya, Bu Topo.
Orangnya benar-benar aneh dan menjengkelkan.
Selalu menganggap dirinya manusia sempurna. Orang lain selalu dibawah 'level'nya.
Kata-katanya yang paling top "Wah..ndak level sama aku.."
Dikiranya semua orang menganggap dirinya baik, padahal kenyataannya sebaliknya.
Sekilas pandang dia tampak baik. Tapi sekali kenal lebih dalam, ampun!!!
Kasihan sekali dia mengira dirinya disukai orang.
Sifat yang paling membuat tidak tahan adalah bahwa dia selalu merasa si Nyonya Sempurna,
dan semua harus berjalan sesuai aturannya.
Mending kalau aturan yang dibuatnya baik dan masuk akal, kebanyakan aneh bin nyleneh, sekedar untuk menunjukkan jati dirinya saja.
Contohnya dalam hal masak-memasak. Dia merasa jago masak, padahal menurut sebagian besar kawan, masakannya biasa saja. Bahkan aneh.
Pernah saya dapat cerita dari kawan yang ikut masak-memasak dengan Bu Topo. Ada beberapa ibu-ibu di dapur. Bu Topo bersikap menjengkelkan dengan menganggap semua ibu-ibu disana adalah 'ABG yang baru belajar masak'. Semua detail masakan harus sesuai dengan keinginan Bu Topo. Masak oseng tempe satu mangkuk saja bawangnya harus 1/2 kilo! Lombok ijonya juga tak kalah banyak. Masih ada lagi permintaannya, irisan lombok ijo harus berukuran sama, 1 cm, tak boleh kurang, tak boleh lebih semilipun. Begitu juga tempenya. Kalau ibu-ibu salah memotongnya, dia pasti ngomel seakan-akan titahnya adalah titah seorang ratu yang tidak boleh sampe salah dilaksanakan. Lain kali kalau masak bawa meteran ya!!
Masih ada lagi, memasak makanan berkuah seperti soto misalnya, kalau soto sudah sampai di hari kedua, biasanya diapakan, ibu-ibu? Tinggal dipanasi seperti biasa kan?
Kalau Bu Topo beda, demi menciptakan masakan yang 'khas Bu Topo', soto tersebut dipanasi sampai hampir habis kuahnya. Lalu dia akan menambahkan air dari kran ke dalam panci soto dan merebusnya bercampur kuah yang tinggal sedikit tadi. Itu namanya apa, Ibu-ibu? Soto apa air? Hahaha .. kalau ibu-ibu yang lain protes, Bu Topo pasti marah.
Itulah, dia selalu berusaha menciptakan masakan khas dirinya tapi dengan cara yang tidak lazim. Semua masakan digoreng sampai kering dan hilang zat gizinya. Saya kalau mencicipi ikan mujair gorengan Bu Topo, duh, ampun! Dagingnya sudah tak ada lagi. Makan ikan apa makan kerupuk????
Sampai-sampai membuat telur dadar, bawang putih, bawang merah, cabe, semuanya digoreng kering dulu, baru dicampurkan pada kocokan telur, baru digoreng lagi! Gorengan telurnya juga harus sampai kering, sampai kriuk-kriuk. Pas saya coba, duh! Seperti makan telur dadar 3 hari yang lalu dan sudah 7 kali goreng! Permukaannya juga coklat, bukan kuning sebagaimana telur dadar pada umumnya! Dan itu dia bilang telur dadar khasnya.
Duh, pantas saja dia punya anak 2, sakit-sakitan terus. Dikit-dikit ke dokter. Ya iyalah! Masakan ibunya cuma numpang lewat jadi tai. Gizinya sudah ndak ada lagi. Kasihan mereka.
Keanehan lainnya adalah dia selalu menganggap semua wanita single berusaha menggaet suaminya. Kemanapun Pak Topo pergi, dia selalu ikut. Bahkan waktu anak-anaknya beranjak remaja dan butuh pengawasan, dia malah menyusul suaminya yang sedang ditugaskan di Pelindo Kupang. Akibatnya, anak laki-lakinya salah pergaulan dan terjerat narkoba. Itu 10 tahun yang lalu, saya dengar anak itu sekarang sudah menikah dan baru saja sembuh dari ketergantungan narkoba. Padahal dulu keluarga itu sampai kepayahan berusaha menyembuhkan tapi tak berhasil.
Kecemburuan Bu Topo terhadap suaminya memang berlebihan. Bayangkan, dalam acara pesta kantor dimana para ibu-ibu juga datang, ada hiburan organ tunggal dengan penyanyi wanita. Seperti biasa, penyanyi selalu mempersilahkan hadirin yang ingin bernyanyi. Kalau tak bisa menyanyi sendiri, akan dibantu duet dengannya. Bu Topo selalu menganggap penyanyi adalah pelacur yang akan merebut suaminya, maka begitu Pak Topo maju untuk menyanyi, Bu Topo yang tak bisa menyanyi ikut maju. Bukan untuk menyanyi, tapi hanya untuk berdiri diam ditengah, diantara Pak Topo dan sang penyanyi yang sedang berduet!
Saya juga pernah mendengar cerita salah satu kawan, si kawan ini sebut saja Ani, dia punya teman seorang janda yang menghidupi anak-anaknya dengan berjualan kain. Ani tahu Bu Topo suka beli kain untuk dijahitkan menjadi pakaian pesta. Ani pun menawarkan bagaimana kalau temannya datang ke rumah Bu Topo untuk menunjukkan kain dagangannya. Bu Topo setuju.
Namun tak berapa lama Bu Topo menelepon Ani,
"Bu, temanmu itu janda ya?"
"Iya, kenapa, Bu?" tanya Ani heran.
"Aduuuuuh...kalau janda jangan dibawa kesini, jangan boleh masuk ke rumah saya!" jawab Bu Topo sambil setengah histeris.
Lho, memangnya kenapa dengan janda? Apa janda itu semua perebut suami orang? Lagian apa kegantengan suaminya sampai semua wanita mau?
Akhirnya sekarang dia memetik buahnya. Saking anti-janda-nya dia dulu, menghina janda serendah itu, sekarang putri satu-satunya sudah akan segera menjadi janda. Bu Topo dan suaminya tidak cocok dengan sang mantu. Sekarang ini mereka meminta kepada putrinya itu supaya segera bercerai saja. Haha.. dulu anti janda! Sekarang, putri sendiri disuruh jadi janda!
Itulah sedikit gambaran keanehan Bu Topo. Lain kali saya sambung lagi

Senin, 14 Juli 2008

kartu kredit, si tukang jepit..

Siapa yang tidak kenal makhluk persegi mungil dan tipis yang satu ini? Namanya Kartu Kredit.
Meski kecil mungil, tapi ia bisa meminjamkan sejumlah besar uang di waktu kita kehabisan tunai.
Tapi tidak jarang yang malah terlena garagara si mungil ini, tahutahu utang sudah menumpuk.
Apalagi proses pengajuan aplikasi kartu kredit semakin mudah saja.

Kartu kredit mulai luas digunakan di Amerika sekitar tahun 1995. Kemudian merambah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Beberapa tahun belakangan ini penerbit kartu kredit di Indonesia semakin aktif dalam menjaring calon debitur. Bahkan boleh dibilang, cenderung ngawur.
Mereka merekrut banyak sales dan menempatkannya di mal-mal yang mana pengunjungnya mulai dari kalangan atas sampai kalangan menengah ke bawah.
Sales-sales tersebut digaji minim, bahkan kebanyakan hanya dibayar bila berhasil mendapatkan permohonan aplikasi dari calon debitur. Itupun bila aplikasinya memenuhi syarat untuk diterbitkan kartu kredit.
Alhasil, sekarang ini banyak ditemui sales kartu kredit yang mau membantu calon debitur untuk mendapatkan kartu kredit dengan berbagai cara.
Misalnya dengan membantu memalsukan surat keterangan gaji apabila gaji calon debitur tidak memenuhi persyaratan bank untuk dibuatkan kartu kredit.
Tidak jarang sales menyarankan agar calon debitur yang kurang memenuhi syarat, mengganti data keluarga yang bisa dihubungi, dengan data kawannya yang bisa diajak kongkalikong dalam menjawab interview survey data dari bank.
Bahkan untuk calon debitur seperti ini, sales seringkali mengarang sendiri data calon debitur, lalu memberikan 'kerpekan' kepada calon debitur yang berisi data berapa gajinya, berapa lama masa kerjanya, siapa 'keluarga terdekatnya', sampai data tempat tinggal si calon debitur, apabila dalam kenyataan statusnya 'kontrak, maka dalam aplikasinya akan tertulis 'milik sendiri'.
'Kerpekan' ini diserahkan kepada calon debitur, agar dapat menjawab interview dari bank sesuai dengan aplikasi yang sudah diisi data karangan tersebut.
Kebanyakan calon debitur seperti ini bekerja di perusahaan kecil.
Survey dari bank biasanya hanya dilakukan via telepon ke kantor dan ke rumah. Tanpa kunjungan sama sekali.
Bank yang menelepon ke kantor akan menghubungi kepala personalia atau atasan si calon debitur. Karena si calon debitur bekerja di perusahaan kecil, biasanya mereka sudah meminta tolong ke rekan sesama untuk berpura-pura menjadi kepala personalia untuk kemudian menjawab pertanyaan dari bank sesuai data karangan yang disarankan sales kartu.
Imbalannya, bila si rekan kerja ingin mengajukan aplikasi kartu kredit dengan memanipulasi data pula, dia akan balas membantu dengan gantian pura-pura jadi kepala personalia.

Dengan proses seperti ini, bank tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari si calon debitur. Seorang calon debitur yang hanya berprofesi sebagai sales keliling dengan gaji 750 ribu bisa saja berubah data profesinya sebagai seorang Kepala Administrasi dengan gaji 2,5 juta misalnya.
Alhasil, dalam waktu dua minggu kartu kredit terbitlah. Karena si debitur ini sebenarnya belum layak memiliki kartu kredit, yang ada dana dari kartu kredit bukannya dipakai bila perlu namun malah menjadi 'tambahan penghasilan' buat gajinya yang selama ini memang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dengan membayar minimum payment saja, akhirnya debitur ini akan terkena bunga yang berlipat-lipat dari tagihan-tagihannya. Sementara tagihan bulan lalu hanya dibayar sebesar minimun payment, timbullah bunga, belum bisa membayar sisa utangnya, kartu sudah digesek lagi bulan depannya. Begitu seterusnya sampai akhirnya jadi kredit macet.
Setelah itu mulailah teror dari collection agency alias debt collector berdatangan.

Siapa yang patut dipersalahkan sebenarnya? Pihak bank dan dan collector jelas menyalahkan pemilik kartu kredit. Kalau tidak mampu kenapa buat kartu kredit? Kilah mereka.
Padahal kalau dirunut ke belakang, pihak bank lah yang sepenuhnya bertanggung jawab. Kalau si debitur bukan orang mampu, kenapa di setujui aplikasinya.
Kalau data aplikasinya yang palsu, kenapa bank tidak pernah tahu, bukankah data yang tidak sesuai semestinya akan ketahuan pada saat survey?
Dan kenapa juga bank membabi buta menerjunkan ratusan sales kartu kredit dengan gaji mini dan target maxi?
Akhirnya setelah banyak kredit macet, debitur yang disalahkan.
Sudah waktunya, bank penerbit kartu kredit lebih selektif dalam memilih calon debitur.
Tidak asal sambar demi tercapainya target penerbitan kartu.
Lebih baik mempunyai sedikit team sales kartu profesional dengan gaji memadai, yang akan mencari calon debitur dari kalangan yang memang layak memiliki kartu kredit, daripada punya banyak sales yang hanya mementingkan berapa target dan pendapatannya tanpa memikirkan akibatnya bagi bank dan debitur.

Senin, 09 Juni 2008

Mati lampu!

Sudah dua kali ini tempatku kena giliran mati lampu. Yang mati bukan lampunya aja sih, tapi aliran listrik ke rumahku memang distop sementara. Bukan juga cuma rumahku, tapi rumah tetangga2 ku juga, sampe traffic light di daerahku juga tidak menyala. Sampe-sampe aku yang biasanya sebel liat polisi lalu lintas, hari ini aku malah jadi kasihan. Gara-gara pemadaman bergilir dari PLN, para ‘tukang palak jalanan’ itu sejak jam 9 pagi sampe jam 6 sore bergantian jadi traffic light berjalan .. haha ..

Padahal aku sekarang nggak pernah telat bayar listrik, apalagi nunggak. Perbulannya aku bayar rata-rata dua ratus ribu. (Agak banyak ya, maklum, aku kan buka usaha dirumah, jadi listriknya gabungan). Aku juga bayar listrik biasanya sebelum tanggal 15 per bulannya. Pokoknya nggak pernah telat. Soalnya aku takut, dulu aku pernah miskin, mau bayar listrik aja nggak ada uang, sampe-sampe pernah rumahku diputus listriknya oleh PLN. Makanya sekarang setelah aku punya uang, aku usahakan nggak telat bayar listrik, apalagi nunggak.

Tapi sekarang PLN yang kurang ajar sama aku. Sebentar-sebentar ada pemadaman bergilir. Kalau cuma rumah tangga biasa, mungkin ruginya sedikit. Paling-paling kelewatan acara TV favorit. Atau terpaksa nunda setrika baju. Atau sedikit kegerahan karena gak ada AC. Tapi kalau untuk buka usaha seperti aku ini, giliran kena pemadaman begini , duh ! Yang dirugikan nggak cuma aku, tapi juga pelanggan-pelangganku.

PLN, kalau aku nggak ada uang untuk dia, listrik diputus. Nah kalo PLN nggak ada listrik buat aku, bisa nggak aku minta potongan biaya listrik. Anggap aja PLN kena denda karena mengganti kerugian yang aku alami. Adil kan?


Ya wis.. daripada stres .. ngangdutan aja lah ..

Mati lampu .. uu ..

Aduh gelapnya ..aa..

Gelap-gelapan jadinya .. seperti silumaaaan ..