Senin, 14 Juli 2008

kartu kredit, si tukang jepit..

Siapa yang tidak kenal makhluk persegi mungil dan tipis yang satu ini? Namanya Kartu Kredit.
Meski kecil mungil, tapi ia bisa meminjamkan sejumlah besar uang di waktu kita kehabisan tunai.
Tapi tidak jarang yang malah terlena garagara si mungil ini, tahutahu utang sudah menumpuk.
Apalagi proses pengajuan aplikasi kartu kredit semakin mudah saja.

Kartu kredit mulai luas digunakan di Amerika sekitar tahun 1995. Kemudian merambah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Beberapa tahun belakangan ini penerbit kartu kredit di Indonesia semakin aktif dalam menjaring calon debitur. Bahkan boleh dibilang, cenderung ngawur.
Mereka merekrut banyak sales dan menempatkannya di mal-mal yang mana pengunjungnya mulai dari kalangan atas sampai kalangan menengah ke bawah.
Sales-sales tersebut digaji minim, bahkan kebanyakan hanya dibayar bila berhasil mendapatkan permohonan aplikasi dari calon debitur. Itupun bila aplikasinya memenuhi syarat untuk diterbitkan kartu kredit.
Alhasil, sekarang ini banyak ditemui sales kartu kredit yang mau membantu calon debitur untuk mendapatkan kartu kredit dengan berbagai cara.
Misalnya dengan membantu memalsukan surat keterangan gaji apabila gaji calon debitur tidak memenuhi persyaratan bank untuk dibuatkan kartu kredit.
Tidak jarang sales menyarankan agar calon debitur yang kurang memenuhi syarat, mengganti data keluarga yang bisa dihubungi, dengan data kawannya yang bisa diajak kongkalikong dalam menjawab interview survey data dari bank.
Bahkan untuk calon debitur seperti ini, sales seringkali mengarang sendiri data calon debitur, lalu memberikan 'kerpekan' kepada calon debitur yang berisi data berapa gajinya, berapa lama masa kerjanya, siapa 'keluarga terdekatnya', sampai data tempat tinggal si calon debitur, apabila dalam kenyataan statusnya 'kontrak, maka dalam aplikasinya akan tertulis 'milik sendiri'.
'Kerpekan' ini diserahkan kepada calon debitur, agar dapat menjawab interview dari bank sesuai dengan aplikasi yang sudah diisi data karangan tersebut.
Kebanyakan calon debitur seperti ini bekerja di perusahaan kecil.
Survey dari bank biasanya hanya dilakukan via telepon ke kantor dan ke rumah. Tanpa kunjungan sama sekali.
Bank yang menelepon ke kantor akan menghubungi kepala personalia atau atasan si calon debitur. Karena si calon debitur bekerja di perusahaan kecil, biasanya mereka sudah meminta tolong ke rekan sesama untuk berpura-pura menjadi kepala personalia untuk kemudian menjawab pertanyaan dari bank sesuai data karangan yang disarankan sales kartu.
Imbalannya, bila si rekan kerja ingin mengajukan aplikasi kartu kredit dengan memanipulasi data pula, dia akan balas membantu dengan gantian pura-pura jadi kepala personalia.

Dengan proses seperti ini, bank tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari si calon debitur. Seorang calon debitur yang hanya berprofesi sebagai sales keliling dengan gaji 750 ribu bisa saja berubah data profesinya sebagai seorang Kepala Administrasi dengan gaji 2,5 juta misalnya.
Alhasil, dalam waktu dua minggu kartu kredit terbitlah. Karena si debitur ini sebenarnya belum layak memiliki kartu kredit, yang ada dana dari kartu kredit bukannya dipakai bila perlu namun malah menjadi 'tambahan penghasilan' buat gajinya yang selama ini memang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dengan membayar minimum payment saja, akhirnya debitur ini akan terkena bunga yang berlipat-lipat dari tagihan-tagihannya. Sementara tagihan bulan lalu hanya dibayar sebesar minimun payment, timbullah bunga, belum bisa membayar sisa utangnya, kartu sudah digesek lagi bulan depannya. Begitu seterusnya sampai akhirnya jadi kredit macet.
Setelah itu mulailah teror dari collection agency alias debt collector berdatangan.

Siapa yang patut dipersalahkan sebenarnya? Pihak bank dan dan collector jelas menyalahkan pemilik kartu kredit. Kalau tidak mampu kenapa buat kartu kredit? Kilah mereka.
Padahal kalau dirunut ke belakang, pihak bank lah yang sepenuhnya bertanggung jawab. Kalau si debitur bukan orang mampu, kenapa di setujui aplikasinya.
Kalau data aplikasinya yang palsu, kenapa bank tidak pernah tahu, bukankah data yang tidak sesuai semestinya akan ketahuan pada saat survey?
Dan kenapa juga bank membabi buta menerjunkan ratusan sales kartu kredit dengan gaji mini dan target maxi?
Akhirnya setelah banyak kredit macet, debitur yang disalahkan.
Sudah waktunya, bank penerbit kartu kredit lebih selektif dalam memilih calon debitur.
Tidak asal sambar demi tercapainya target penerbitan kartu.
Lebih baik mempunyai sedikit team sales kartu profesional dengan gaji memadai, yang akan mencari calon debitur dari kalangan yang memang layak memiliki kartu kredit, daripada punya banyak sales yang hanya mementingkan berapa target dan pendapatannya tanpa memikirkan akibatnya bagi bank dan debitur.